Tuesday, September 05, 2006

Homeschooling Ala Pesantren

Berikut adalah makalah hasil dari mengikat makna dengan copy paste. Maunya artikel ini buat Warta Assalaam. Setelah editan pertama jadinya draf tulisan yg masih loncat-loncat ndak karuan. Maklum sumber data berserak dari beragam artikel yg dicopy paste. Waktu kuminta editor Warta untuk membaca jelas saja protes. Artikelnya terkotak-kotak... tolong diedit dulu...


Homeschooling ala pesantren
Setiap orang tua menginginkan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Berbagai jenis sekolah saat ini telah muncul bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya. Ada yg memakai bahasa asing, menyediakan beragam aktivitas di luar kelas, ruang kelas ber-AC, hingga sekolah yg mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis kompetensi dari Diknas.

Apa pun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata tidak kunjung bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan pekerjaan. Baik karena mutu pendidikan yang rendah, kemerosotan akhlak siswa, juga ketidakmampuan lulusan sekolah dalam menghadapi realitas permasalahan di lingkungan masyarakat. Betapa banyak anak sekolah justru menjadi anggota geng kenakalan remaja, tawuran, dan mengkonsumsi narkoba lewat pergaulan sesama teman sekolah. Banyak pula lulusan sekolah justru menjadi penganggur karena sekolah lebih mengajarkan keseragaman dan bukan kreatifitas. Pakar pemasaran Jack Trout, pernah menulis buku yang sangat berpengaruh, Differentiate or Die yang menegaskan bahwa di era saat ini perbedaan adalah sangat penting dalam berkompetisi. Tanpa ada pembedaan maka produk akan mudah dilupakan konsumen. Demikian pula keseragaman yg dibentuk sekolah justru akan mematikan potensi siswa untuk kreatif dan survive dilapangan yg penuh persaingan.

Mendidik Tidak Sama dengan Menyekolahkan
Berbincang masalah homeshooling maka topik pertanyaan kini bergeser. Dari mempertanyakan legalitas lulusannya kepada pertanyaan yang lebih esensial, mampukah orangtua mendidik anaknya sendiri sebaik pendidikan formal? Ini karena undang-undang pendidikan saat ini telah mengakui pendidikan luar sekolah tidak saja dapat menjadi pelengkap namun juga dapat menggantikan pendidikan sekolah. Tinggal seberapa kesiapan orangtua mendidik anak-anaknya.

Di samping alasan tidak puas dengan hasil pendidikan sekolah saat ini, alasan kendala jarak, atau keinginan agar orang tua lebih banyak berinteraksi dengan anak, ada pertimbangan lain yang menarik yaitu keinginan menanamkan nilai-nilai Islam sesuai keinginan orangtua. Ketiadaan jaminan bahwa anak dididik di sekolah sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai orangtua membuat sebagian orangtua bersikeras mendidik anaknya sendiri di rumah.

Pendidikan juga meliputi pembentukan kepribadian, bukan hanya mengajarkan pengetahuan. Bukan sekedar know how tetapi being. Untuk membentuk kepribadian maka rumusnya adalah pembiasaan. Pembiasaan ini baru berhasil jika lingkungan mendukung. Harus ada contoh konkrit yang bisa ditiru dan jadi panutan. Harus ada pengalaman sehari-hari yang langsung dirasakan. Tentu dengan konsekuensi merasakan hukuman yang kadang berupa kegagalan yang pahit. Lingkungan sekolah dalam hal ini seringkali gagal dalam menyajikan realitas yg membentuk kepribadian yg tangguh. Yang lebih banyak diberikan adalah teori dan pelajaran untuk dihafalkan.

Betapa menjamurnya sinetron TV saat ini yang menggambarkan kehidupan penuh glamour dan hanya menjual mimpi. Sering sinetron mengumbar kekerasan dan mengeksploitasi seks untuk mendapatkan rating pemirsa yang tinggi. Sinetron seperti ini sungguh tidak layak ditonton. Lantas bagaimana membatasi dan mensensor tontonan anak jika ternyata orangtuanya sendiri hobinya nonton sinetron? Bagamana pula membatasi nonton film jika ternyata film kartun anak pun tidak lagi aman ditonton? Beberapa film seri anak seperti Dragon Ball, detektif Conan, Sincan juga SamuraiX jauh dari tontonan yang mendidik. Film anak itu penuh dengan adegan kekerasan, pembunuhan dan prilaku kasar serta prilaku buruk lain yang tak pantas dilihat anak.

Kurikulum dan Materi Belajar
Orang tua homeschoooling harus kritis dalam mengajarkan materi kepada anak-anaknya. Untuk apa materi ini diajarkan jika kemudian tidak bermanfaat bagi anak pada kehidupannya. Setiap sesuatu yang diajarkan atau dibacakan untuk anak selalu dicoba untuk menterjemahkan sebaik mungkin ke dalam realitas. Ini yang berbeda dengan sistem sekolah yang seringkali hanya mengajarkan pengetahuan hanya sekedar untuk dihafal tanpa melihat kontek permasalahan yang dihadapi anak. Anak-anak homeschooler belajar sangat dini perbedaan antara mengetahui nama sesuatu dibandingkan mengetahui hakikat sesuatu.

Dalam hal kecepatan belajar maka sistem homeschooling sangat adaptif dengan kemampuan anak. Hasilnya bukan lebih lambat, banyak di antara anak homeschooler baru berumur 16 tahun tetapi sudah menyelesaikan materi SMA. Homechooling menggunakan jadwal belajar tidak ketat seperti di sekolah tetapi disesuaikan dengan kebutuhan materi yang dipelajari. Mereka juga tidak mengenal liburan panjang sekolah karena mereka belajar hampir sepanjang tahun di saat liburan sekalipun.

Salah satu kunci sukses belajar di luar sekolah adalah antusiasme. Hampir bisa dipastikan hanya mereka yang antusias yang akan berhasil di’sekolah’ yang aturannya sangat fleksibel ini. Prinsipnya seperti kata-kata bijak Aristotle:We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit. Dan untuk membangun antusiasme maka metode yg paling efektif adalah dengan mengikuti hobi anak dan cara apa yang paling mereka sukai.

Saat ini tersedia banyak sekali sumber belajar. Baik buku-buku ajar, ensiklopedia, CD pendidikan, chanel TV pendidikan, sampai internet sebagai sumber informasi yang berlimpah. Jika sumber belajar melimpah maka anak dapat mempelajari lebih banyak dari pada tuntutan kurikulum atau tuntutan orangtuanya. Keingintahuan anak seringkali tumbuh begitu kuat sehingga sanggup belajar dalam waktu yang lama dengan intensitas yang tinggi. Di negara-negara maju tidak sedikit keluarga yang memilih menyekolahkan anaknya di rumah dengan alasan banyak lembaga pendidikan resmi yang menyediakan kurikulum dan silabus sejak tingkat TK sampai perguruan tinggi. Media internet digunakan secara aktif untuk mengirimkan bahan belajar maupun bahan test secara online.

Sistem Ujian
Dalam mengerjakan bahan ujian, maka kejujuran orangtua sangat diuji. Apakah dia mau membiarkan anak mengerjakan sendiri atau dibantu. Kebanyakan pembelajar alam tidak lagi terlalu mengejar nilai bagus. Mereka tidak lagi disibukkan dengan mengejar gengsi rangking kelas dan lebih menekankan mengajarkan kejujuran pada anak akan hasil kemampuan diri yang sesungguhnya.

Untuk homeschooler dengan lisensi asing lewat internet maka lembar jawaban ujian dikirim kembali ke lembaga pendidikan jarak jauh untuk dinilai. Jika lulus ujian maka anak akan mendapat sertifikat sehingga bisa melanjutkan ke jenjang berikut. Banyak lembaga pendidikan internasional jarak jauh yang sertifikatnya diakui di Indonesia sebagai lulusan dari luar negeri. Lulusan homeschoooling terbukti ada yg diterima di UI.

Peserta homeschool memang harus mengikuti ujian kesetaraan bila ingin kembali melanjutkan pendidikan ke sekolah formal. Mereka bisa mendapat ijasah kesetaraan di pendidikan nasional melalui paket ujian A (SD), B (SMP), dan C (SMA). Jika mereka lulus, berarti kemampuannya sudah setara.

Sebelum itu, mereka mesti mendaftar di lembaga pendidikan nonformal, seperti pusat kegiatan belajar masyarakat atau lembaga kursus yang menyediakan persiapan dan ujian tersebut. Saat ini terdapat lebih dari 3.000 lembaga yang tersebar di berbagai daerah. Setelah terdaftar, mereka dapat mengikuti proses pendidikan dalam waktu tertentu di sana, baru kemudian ikut ujian. Berbekal tanda lulus ujian itu, homeschooler bisa mendaftar ke sekolah formal yang ada.

Sistem Belajar
Homeschooling menggunakan sistem belajar yang disesuaikan dengan kondisi anak dan orangtua. Salah satu cara belajar homeschoooling adalah sistem campuran. Sistem belajar yang sebagian di rumah, separuh lagi di Morning Star Academy (MSA), sekolah yang mendukung program bersekolah di rumah. Setiap anak bersekolah hanya tiga hari dalam seminggu, yakni Senin-Rabu-Jumat atau Selasa-Kamis-Sabtu. Semua orangtua murid terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini. Bahkan, 90 persen guru MSA adalah orangtua murid. MSA juga menyediakan modul panduan belajar berstandar internasional. Tiap modul seharga Rp 2,5 juta untuk setahun belajar.

Program homeschool model MSA ini telah ada sejak tahun 2002. Diawali 20 keluarga dengan 50 anak, yang berkumpul di Jakarta Selatan untuk menyelenggarakan pendidikan bersama. Jadilah tempat itu sebagai komunitas untuk bersosialisasi dan belajar. Kini tercatat 150 keluarga dan sekitar 300 anak bergabung di MSA. Sayangnya MSA yang merupakan lisesi luar negri ini adalah asosiasi pendidikan kristen, sehingga banyak keluarga muslim belum menerima dan ingin mengembangkan model homeschooling yang islami. Homeschooling ala pesantren.

Di daerah juga muncul pendidikan alternatif yang berbasis masyarakat. Sistem sekolah model SMP terbuka seperti SMP Alternatif Qoryah Thoyyibah di Salatiga dan SMP Alternatif Otek Makmur di dusun Glinggang Kemusu Boyolali adalah sekolah yang relatif ‘bebas’ dalam menentukan kurikulum dan sistem pembelajaran. Dan kalau dicermati sesungguhnya program TV seperti Kontes AFI, KDI, Pildacil atau API juga salah satu bentuk homeschooling. Bahkan tradisi pesantren lama sesungguhnya pun menerapkan prinsip homeschooling. Santri-santri tidak masuk kelas berdasarkan usia tertentu tetapi pembelajaran menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Santri-santri yg rajin dan pandai bisa lulus lebih cepat. Tapi ada juga yg bertahun-tahun tidak lulus pesantren karena cara belajarnya nyantai.

Komunitas ‘Berkemas’ binaan Ibu Yayah Komariah
Apa yg diusahakan oleh Ibu Yayah Komariah, ketua Komunitas Homeschooling BERKEMAS, patut dijadikan rujukan. Berangkat dari keprihatinan nasib pendidikan anak-anaknya yang sering ia tinggalkan karena sibuk mengajar SDIT yang fullday. Sementara itu anaknya sendiri tidak mampu sekolah di tempat ia mengajar arena biayanya yg tinggi. Daripada mengurusi anak orang lain tetapi anak sendiri tidak terurus maka ia keluar dari tempat mengajar dan mulai mengajar anaknya sendiri di rumah. Beberapa anak tetangga kemudian bergabung. Pengajarnya pun mulai beragam karena Berkemas memanfaatkan keberadaan tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan sekitar. (Takmir masjid, pensiunan dinas perkebunan, LSM).

Dibutuhkan kreatifitas yang tinggi untuk mengatasi berbagai kendala yg muncul. Bahan-bahan belajar cukup difoto copy. Pengalaman mengajar dengan diterapkan kepada anak-anaknya sendiri. Jika ingin mengajarkan alat transportasi anak-anak Berkemas langsung diajak keliling kota dengan menggunakan alat transportasi yg tersedia. Naik bus kota, naik Transjakarta atau Busway kemudian naik kereta. Selain mengunjungi terminal bus dan stasiun kereta anak-anak juga diajak ke bandara dan pelabuhan. Anak-anak mengalami sendiri naik berbagai alat transportasi lalu diminta menuliskan pengalamannya.

Pendapat para tokoh
Sementara itu, pengamat pendidikan Dr Arief Rachman MpD mengatakan, materi bersekolah di rumah sebenarnya tidak ada bedanya dengan pendidikan di sekolah. Namun penyampaiannya yang berbeda, karena di rumah memakai pendekatan yang lebih personal. Bersekolah di rumah mengembalikan konsep dasar pendidikan, yakni pada keluarga, bukan pihak lain seperti sekolah. Anak menjadi mandiri dan hubungan dengan keluarganya harmonis.

No comments: