Sunday, July 24, 2005

Mendidik Remaja untuk Bertanggungjawab



  

Kita seringkali menemukan kejadian di mana orang cenderung ‘lari’ dari masalah. Alih-alih menyelesaikan masalah, mereka cenderung membiarkan masalah itu tergantung tanpa penyelesaian berarti. Mereka malah mencari kesibukan lain yang bisa mengalihkan ‘untuk sementara’ perhatian dan stress yang timbul dari masalah tersebut. Lalu menganggap masalah itu seperti tidak pernah ada.

Lebih parah lagi kini berkembang kasus lempar tanggung jawab. Ia sendiri penyebab masalah itu timbul tetapi menuding orang lain yang bersalah dan orang lainlah yang harus bertanggung jawab. Istilahnya pun sudah sering kita dengar: mengkambing hitamkan orang lain. Pada dunia kerja, kecenderungan mencari kambing hitam dalam setiap masalah yang muncul sering malah jadi solusi yang disukai ketimbang secara ksatria mengakui kesalahan dan mencoba membenahi kerusakan yang timbul. Kambing hitamnya bisa jatuh pada orang lain, rekan kerja, atasan, situasi atau pada sistem, tapi hampir tidak pernah mengakui bahwa diri pribadi ikut andil sehingga trouble bisa terjadi. Kalaupun ada kesalahan pribadi yang diakui pastilah disampaikan pula berjibun alasan apologetic pembenarannya. Banyak tetapi yang membungkusnya. Tetapi khan saya… Tetapi itu karena mereka… Tetapi … It's so hard to face the truth..

Kesalahan mendidik
Mungkinkah ada kesalahan dalam cara didik orang tua pada anak-anaknya? Adakah pendidikan bertanggung jawab atas peristiwa lempar-melempar tanggung jawab ini? Benarkah generasi kita kurang dididik untuk bertanggungjawab? Atau apakah mendidik remaja adalah perkara tersulit saat ini sehingga wajar jika banyak yang gagal?
Sikap orangtua yang cenderung melindungi anak karena kasih sayang, secara tidak disadari justru membunuh sense of responsibility pada anak. Kalau anak itu masih bayi memang perlu perlindungan ekstra. Tapi apakah perlindungan ini akan diteruskan sampai anak menjelang remaja? Perlukah dilindungi sampai dewasa? Jika anak terlalu dilindingi maka anak akan selalu merasa benar, aman dan terlindungi, bersalah namun termaafkan dan kesalahan akan dilupakan. Gaya hidup serba enak, nyaman dan berkecukupan juga makin mengurangi daya juang dan ketegaran anak. Jadilah yang muncul adalah generasi yang lembek dalam menghadapi kesulitan, sementara justru keras hati dalam menuntut semua harus sesuai dengan apa yang ia inginkan. Generasi instan yang cenderung enggan bersusah payah dan mudah mengeluh. Tuntutan mereka selalu bersifat right here right now. Generasi instan MTV.

Perubahan jaman yang demikian pesat dan maju membuat cara mendidik bergeser. Dulu fasilitas tidak semudah sekarang. Untuk bermain perang-perangan misalnya, anak-anak remaja harus membuat senapan dari batang pohon pisang. Sekarang kalau si Buyung pengin main perang-perangan, dia tinggal minta dibelikan senapan M16 mainan yang ada lampu kelap-kelip dan mengeluarkan suara persis tembakan atau merengek minta dibeliin videogame perang Starwars. Tidak ada usaha dan susah payah untuk ‘membuat senapan’ yang bisa digunakan untuk bermain. Tak ada interaksi individu dengan lingkungan sosial untuk bermain bersama. Akhirnya, kreativitas untuk mencipta jadi berkurang dan individualisme tertanam.

Semua ada ganjarannya
Mendidik remaja untuk bertanggungjawab jaman sekarang sangatlah susah. Apalagi saat mulai menginjak usia remaja yang punya energi meluap-luap tapi kontrol diri sangat lemah. Diperlukan keteguhan hati, kudu tega dan sedini mungkin menggunakan prinsip pendidikan yang benar.

Misalnya, dengan menyuruh para remaja itu untuk menabung sendiri uang jajan mereka jika mereka ingin punya mainan yang diingininya. Dari sini mereka dididik untuk berjuang dahulu sebelum mendapatkan hasil. Dididik bahwa butuh kerja keras untuk meraih keinginan, ada proses yang harus dilalui. Tentunya kita harus mendukungnya dengan mengingatkan akan pentingnya menabung dan memberikan penghargaan jika ternyata hasil tabungan ternyata benar-benar dimanfaatkan dengan baik.

Kalau mereka memecahkan gelas atau merusakkan barang elektronik, harus ada punishment dengan memotong uang jajan selama beberapa waktu, sebagai denda atas kerusakan yang ditimbulkannya. Dari situ remaja dididik untuk bertanggungjawab akibat kesalahannya. Nilai rupiah kerusakannya mungkin tidak berarti bagi kita sebagai orangtua, tapi makna didikan untuk bertanggungjawab mengganti kerusakan amatlah penting bagi remaja. Mereka yang bersalah dan mengakui kesalahan serta menjalani hukuman haruslah dihargai. Tidak boleh lagi mereka ditimpakan penghinaan atau hukuman tambahan yang ia bukan penyebabnya. Tak ada dendam, no heart feeling.

Orangtua juga perlu memberi contoh dengan mengakui kesalahan jika berbuat salah. Sayangnya masih banyak yang beranggapan bahwa meminta maaf kepada anak kecil itu dapat menurunkan gengsi dan pamor orang dewasa. Secara tidak sadar ini sama dengan menanamkan kelicikan dan sikap sok kuasa. Betapa banyak sinetron saat ini dapat ditonton di TV yang menggambarkan gensinya minta maaf dan mudahnya menimpakan kesalahan pada orang lain.

Keimanan sebagai landasan
Kesalahan itu adalah sisi yang manusiawi dari siapapun. Yang lebih utama bukan bagaimana kesalahan tidak terlihat tetapi bagaimana ia tidak terus dalam kesalahan. Menyesali diri dan mau memperbaiki diri, bertanggungjawab atas kerusakan dan menutup kesalahan yang ia perbuat dengan perbuatan yang lebih baik. Inilah realisasi dari taubatan nashuha yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Sungguh citra atau gengsi manusia sebaik apapun di jaga dimata manusia jika ia tidak merupakan citra di mata Allah maka percuma saja. Perbuatan baik yang ditonjol-tonjolkan dan perbuatan salah yang ditutup tutupi itu tidak bisa disembunyikan dari pengawasan Allah yang Maha Melihat. Sifat riya kepada manusia tidak berganjar kecuali neraka. Dan keimanan yang kuat bahwa Allah Maha Melihat lebih dari cukup untuk menahan kita dari lari dari tanggungjawab. (Ars)

1 comment:

Selamat datang di Blog Mahasiswa UIN 2008/2009 said...

saya setuju sekali dengan pendapat anda,anak adala titipan Allah kita harus pa dai memenetnya.