Friday, July 27, 2007

Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga


Paradigma keren tapi berbahaya

Tidak mudah mengurai permasalahan dunia pendidikan. Khususnya ditinjau dari tujuan pembentukan kepribadian dari anak didik. Permasalahan ini muncul dan semakin komplek justru sejalan dengan semakin tingginya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan iptek yang menyediakan kemudahan dan memunculkan beragamnya pilihan menyembunyikan sisi kelam dalam ikut membentuk karakter siswa didik.
Kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan teknologi menghasilkan perubahan yang cepat di segala bidang tidak kemudian memuluskan jalan untuk membentuk kepribadian unggul siswa. Meski ilmu pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan produktifitas menjadi semakin mudah diajarkan berkat perangkat yang semakin canggih, namun karakter anak yang terbentuk justru semakin buruk. Manja, ceroboh, tidak konsisten, rapuh dan sulit bertahan dari gempuran masalah mejadi karakter dasar sebagian besar siswa jaman sekarang.

Akar permasalahan
Berkembangnya teknologi informasi melahirkan media yang mengglobal.
Sayangnya media cenderung menyajikan gambaran dengan penyerderhanaan yang menipu. Mudah, enak dan segera. Industri yang menyokong media dengan dana iklan hanya membutuhkan produknya laku. Untuk itu isi media harus mengikuti selera pasar.
Pembaca dan pemirsa sudah diposisikan menjadi penikmat sehinga sajian ringan dan menghibur model infotaiment lebih ditonjolkan. Kalau perlu pemirsa tidak usah berfikir. Acara diprogram semakin heboh, semakin gila-gilaan agar semakin menarik dan meningkatkan rating. Dan rating tinggi itu menghasilkan slot iklan yang mahal. Sifat konsumtif, maunya enak dan dunia glamor menjadi sajian wajib hampir seluruh stasiun TV saat ini. Sifat primitif mengumbar nafsu manusia dieksploitasi. Sajian kekerasan, erotisme, mistik, hura-hura atau lawak gila-gilaan dan berbagai perilaku rendahan menjadi lazim ditampilkan.

Sifat masif dari media seperti TV memberikan dampak yang tidak terkira bagi institusi pendidikan. Nilai-nilai luhur yang ditanamkan di kelas seringkali bersebrangan dengan nilai-nilai yang tersaji di TV yang setiap hari mereka tonton. Lihatlah dampak yang terjadi pada sebagian besar prilaku generasi muda. Para remaja yang maunya serba instan. Ingin kaya tapi berprilaku boros dan sama sekali tidak produktif. Banyak kemauan tapi miskin usaha. Maunya lulus dengan nilai tinggi tapi malas belajar. Pingin masuk surga tapi jalan maksiat yang ditempuh. Jargon muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga menjadi absurd dan sangat naif. Mirip dengan kebanyakan film atau sinetron di TV, meskipun menyajikan konflik yang mencekam tapi pasti berlalu dengan hapy ending. Seringkali hanya dalam durasi kurang dari 2 jam segala permasalahan selesai dihadapan pemirsa.

Mumpung masih muda, kita gunakan untuk bersenang-senang. Tak kalau sudah tua barulah bertobat. Ini angapan yang sungguh naif. Tidaklah demikian kenyataannya. Allah maha adil untuk tidak begitu saja memberikan segala yang dimaui anak Adam kecuali dengan usaha dan pengorbanan yang tidak kecil.

Betapa banyak orang gagal bertaubat karena terlanjur abis kesempatan baginya. Seperti kisah Firaun yang bertaubat saat nyawa sudah ditengorokan. Taubat seperti ini adalah taubat terpaksa yg tak mungkin diterima. Atau bertaubatnya Suharto setelah lengser. Tentu saja taubat ini sia-sia karena tidak mengasilkan apa-apa bagi jutaan orang lain yg telah jadi korban rezimnya. Kesempatan tidak datang begitu saja. Ia harus diperjuangkan. Sabda Rasulullah yang didendangkan dengan apik oleh Raihan: Ingatlah lima sebelum datangnya lima! Sempatmu sebelum sempitmu, mudamu sebelum tuamu, kayamu sebelum miskinmu, sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.

Betapa banyak orang gagal berhenti dari kebiasaan buruk meski menurutnya telah berusaha keras. Gagal menghilangkan kebiasaan merokok. Gagal meghilangkan kebiasaan dugem. Ini karena sifat dosa yang menjebak sehingga tidak mampu keluar daripadanya. Sedikit demi sedikit semakin terperosok dalam jebakan setan. Dari merokok terjerumus narkoba. Dari dugem terjerumus pergaulan bebas. Seperti pepatah: kebohongan pertama akan melahirkan kebohongan selanjutnya untuk menutupinya. Kemaksiatan yang dinikmati akan melahirkan kemaksiatan berikutnya.

Karena hati manusia ibarat kaca. Jika ia berbuat dosa sekecil apapun maka akan timbul noda. Jika diulang-ulang maka semakin banyak noda yang akhirnya membuat gelap hati. Gelap hati akan mustahil mendapatkan hidayah. Sedangkan mereka yang bersungguh-sungguh mencari hidayah saja belum tentu mendapatkannya. Betapa banyak ujian berat yang mesti dihadapi untuk membuktikan keimanan seseorang. Dan tidak sedikit manusia gagal menghadapinya.

Sekolah yg terjepit
Perjalanan menuju kesuksesan nyatanya harus ditempuh dengan susah payah dan penuh pengorbaan. Butuh keahlian, waktu lama dan kesabaran yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita. Untuk itu dibutuhkan karakter unggul yang mencetaknya tidak mudah. Pendidikan yang hanya mencekoki siswa dengan informasi lewat pengajaran di kelas tidak akan membentuk kepribadian ini. Sekolah yang hanya mengajarkan tips-tips cepat mengerjakan soal sering terjebak justru menanamkan karakter meremehkan segala sesuatu pada siswa-siswanya. Etos belajar dan berprestasi menjadi rendah. Akhirnya nilai siswa yang jeblok terpaksa didonkrak agar bisa lulus dengan nilai tinggi. Mau bagaimana lagi. Jika banyak siswanya tidak lulus tentu sekolah akan diragukan dan dianggap bermutu rendah.

Sekolah yang berusaha menanamkan nilai nilai kejujuran, keuletan dan kerja keras menjadi terasing. Guru menjadi tampak reseh, tidak gaul dan kuno dihadapan siswa. Bahkan tidak sedikit institusi pendidikan terhanyut oleh arus deras modal yang sangat kosumtif. Tidak terkecuali sekolah-sekolah berlabel Islam. Siswa dimanjakan dengan fasilitas kemudahan yang berujung pembiayaan yang tinggi. Siswa yang disekolahkan model seperti ini akan menagih guru seolah saya telah membayar mahal maka layani saya seperti yang saya mau. Standar pendidikan dinilai dari seberapa enak layanan diberikan pada siswa.

Jalan panjang pembentukan karakter
Untuk membentuk karakter seseorang maka diperlukan waktu lama dan kesabaran. Bagaikan mengukir di atas batu, kadang dibutuhkan pemaksaan diri. Pemaksaan diri yang berbuah kebiasaan baik harus dipupuk sejak belia. Masa remaja adalah kesempatan emas yang jangan sampai disia-siakan. Seperti pepatah pohon kecil yang bengkok bisa diluruskan, tetapi pohon besar hanya bisa ditumbangkan dengan kapak. Sayangnya keadaan yang memaksa ini tidak bisa terus dipertahankan dalam jangka lama. Pemaksaan diri harus diimbangi dengan penanaman pemahaman tentang maksud dan tujuan dari pemaksaan tersebut. Kegagalan lembaga pendidikan menjelaskan pemaksaan diri ini bisa berakibat siswa memberontak atau putus asa.

Lembaga pendidikan harus terus menciptakan suasana belajar untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan siswa-siswanya. Kemampuan yang harus menjadi prioritas adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah riel di lapangan. Kemampuan ini harus terus diasah untuk menjadi bekal menghadapi permasalahan lebih besar nanti saat terjun di masyarakat. Tanpa potensi yang terasah mumpuni maka seseorang akan mudah tergelincir untuk menyerah dan mengambil jalan salah. Potensi yang diasah meliputi pengetahuan, pemahaman maupun kemampuan untuk berealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan. Tentu bukan hanya dalam tataran teori yang ditandai dengan lancarnya siswa menjawab soal multiple choice yang disodorkan di meja ujian.

Lembaga pendidikan harus menyediakan sistem Islami yang berlapis-lapis dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk saling beramar makruf nahi mungkar. Ibarat pertahanan yang berlapis maka jika suatu saat jebol maka lapis berikutnya masih bertahan. Untuk itu maka kebutuhan untuk membina jamaah menjadi sangat penting. Jamaah yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain. Tidak hanya kurikulum pendidikan di kelas, tetapi sistem organisasi, sistem sosial, nilai-nilai yang ditanamkan dan prilaku yang ditunjukkan semua lapisan harus sejalan dengan ajaran Islam. Guru di kelas harus jadi guru di masyarakat. Artinya seorang guru harus menjadi guru kehidupan bagi siswa-siswanya.

1 comment:

Yusuf Alam Romadhon said...

Iya setuju... hidup ini banyak detil apalagi kalo kita meliyat jauhh.... ke akhirat... tidak sesederhana jargon itu