Ketika pooling santri diadakan pada saat pencopotan Mudir Ma’had maka opini santri yg tergambar adalah nyata adanya. Ini bisa disimpulkan demikian karena santri relatif bebas dari tendensi uang atau kekuasaan. Mereka benar-benar menyuarakan pilihan yg ada dibenak atau sesuai dengan hati nurani. Jika kemudian disematkan pada mereka tuduhan bahwa mereka dipengaruhi oleh seseorang (Ust atau pembimbing) maka tuduhan itu jelas tendensius. Alih-alih mencari kebenaran, tuduhan itu dilontarkan justru berusaha mengaburkan fakta. Tuduhan itu dimaksudkan untuk pembelaan diri dalam upaya mengelak dari tanggung jawab.
Menurut teori jenis pertanyaan pada angket atau pooling ada tiga macam:
1. Pooling tertutup
2. Pooling terbuka
3. Campuran
Pooling tertutup ditandai dengan adanya pilihan jawaban yg sudah disiapkan. Pengisi pooling hanya bisa memilih dari pilihan yg ada. Yang jadi masalah adalah jika pengisi pooling tidak menemukan jawaban yg dikehendaki. Pada kasus ini maka ia bisa tidak memilih sama sekali. Kasus lain adalah jika ternyata peserta membuat pilihan tidak cuma satu. Dua atau beberapa item jawaban dipilih semua. Pembuat poling biasanya berusaha menangkap setiap kemungkinan jawaban yg perbedaanya signifikan. Analisa data menjadi mudah didapat dengan valid.
Pooling terbuka tidak memberikan pilihan item jawaban pada setiap pertanyaan. Masing-masing pengisi bisa mengisi secara bebas. Cara ini membuat hasil pooling jadi semakin variatif. Tentu konsekuensinya analisa data jadi semakin berat. Seringkali peneliti harus mengelompokkan jawaban yang senada. Kemudian jawaban minoritas dengan jawaban beragam kemudian digabungkan sebagai jawaban lain-lain.
Untuk memadukan kelebihan dari kedua jenis pooling ini maka peneliti biasanya membuat pooling campuran. Pada pertanyaan disiapkan jawaban dan jika pengisi pooling tidak setuju dengan semua jawaban maka disediakan kolom isian jawaban yg bebas diisi.
Pada kasus pooling yg dilakukan santri maka jenis pooling yg digunakan adalah pooling terbuka. Tentunya jawaban yg diberikan santripun sangat beragam. Untuk pertanyaan ‘Menurutmu bagaimanakah kriteria Mudir Ma’had yg ideal?’ maka jawaban santri menghasilkan berbagai kriteria yg kadang tak terduga oleh peneliti. Jika kemudian ada jawaban santri Yang seperti Ustadz Muin lebih banyak dari pada ‘Yang seperti Rasulullah saw’ maka sungguh bodoh menyimpulkan bahwa aqidah santri telah sesat. Apalagi ditambahi Ust Muin telah menyebarkan aqidah sesat di kalangan santri. Kesalahan berpikir ini karena menyimpulkan secara salah seolah santri lebih menghormati Ust Muin dari pada Rasulullah saw seperti hasil angket tersebut.
Beberapa hal yg perlu diluruskan disini adalah:
Pertama. Gambaran Ust Muin jelas lebih nyata sosoknya dari pada gambaran Rasulullah saw jika dipilih untuk memimpin Pondok. Maka wajar jika lebih banyak santri yg menyebut Ust Muin dari pada Rasulullah saw. Demikian pula tak ada yang menyebut SBY atau ketua Yayasan misalnya karena sosok itu tidak dikenal santri untuk dijadikan kriteria. Yang nyata lebih bisa dipilih dari pada yg abstrak.
Kedua. Sebagian jawaban santri ‘Yang seperti Rasulullah’ juga mengandung arti bahwa santri sebenarnya memimpikan sosok ideal. Tapi ini tingkatnya ‘mimpi’. Betapa sulit menghadirkan sosok ideal di zaman sekarang. Tidak mungkin menghidupkan kembali Rasulullah saw. Jikalaupun ada orang yg persis sama tentu kapasitasnya adalah pemimpin umat Islam sedunia bukan hanya untuk sekedar memimpin pondok.
Ketiga. Jawaban hasil pooling justru merupakan penghormatan terhadap Ust Muin karena masih dianggap sebagai sosok ideal untuk memimpin Assalaam. Beliau di mata santri merupakan wujud nyata yang disandingkan dengan kriteria seperti Rasulullah saw. Ust Muin berhasil menanamkan pengertian kepada santri bahwa kita semua harus berusaha menteladani Rasulullah saw. Ust Muin telah mencontohkan dirinya sendiri sebelum meminta santri mengikuti contoh akhlak Rasulullah saw. Sehingga wajar jika santri menemukan sosok ideal untuk ditauladani pada Ust Muin. Sosok yg seperti inilah yg pantas memimpin Assalaam.
Mungkin pooling santri ini bermakna politis. Tapi menyeretnya menjadi perkara aqidah adalah salah satu taktik cerdik (culas) yg dilakukan untuk membelokkan substansi permasalahan yaitu salah urus Assalaam. Wallaahu a’lam bishowaab.
No comments:
Post a Comment